Selasa, 27 Januari 2015

Jatuh Cinta pada Mojok.co

Kira-kira pertengahan Desember 2014 saya mengenal blog Mojok.co. Pertama "bertemu" saya langsung suka, langsung jatuh cinta. Mungkin benar kata Efek Rumah Kaca, jatuh cinta sekarang adalah hal biasa. Masalahnya, sejak pertama "bertemu" tadi, saya jatuh cinta terus, sampai sekarang. :)

Saya suka tulisan-tulisan yang diusung blog tersebut. Saya suka bagaimana para penulis di sana menyindir atau menanggapi setiap fenomena-fenomena terbaru yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri. Lucu, "pedes", makjleb. :D

Melalui blog ini saya "mengenal" Puthut Ea, Iqbal Aji Daryono, Agus Mulyadi, Arman Dhani, Arlian Buana, dan Rusdi Mathari. Yang saya sebut terakhir adalah yang paling saya suka. Tulisannya tidak beremosi, tenang, mencerahkan, memberi banyak wawasan. Setiap hari saya menunggu postingan statusnya di Facebook. Hihihi.

Rusdi Mathari dan yang lainnya telah membuat saya menanti tulisan mereka setiap hari. Saya merasa lebih "melek" lagi soal apa yang tengah terjadi di negeri ini. Saya pingin juga menulis dengan gaya seperti mereka. :)

Selasa, 06 Januari 2015

Pemerintah Akan Hapuskan Penerbangan Berbiaya Murah?

Saat mandi pagi tadi, lamat-lamat saya mendengar berita di televisi. Kabarnya pemerintah akan menghapus penerbangan berbiaya murah. Hal itu terkait dengan kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 yang 28 Desember 2014 lalu mengalami kecelakaan. 

                                          Theyeshivaworld.com

 Entah rencana itu benar atau tidak. Menurut saya, rencana penghapusan penerbangan berbiaya murah itu sungguh “aneh”. Sebab, bukan masalah biaya yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut. Memang belum ada yang tahu persis apa penyebabnya. Namun, biaya yang murah juga bukan menjadi alasan (penyebab kecelakaan pesawat tersebut) sebenarnya saya kira.

Beberapa waktu lalu sempat diberitakan bahwa pilot tidak mengikuti standard operasi prosedur (SOP) penerbangan dengan baik. Pilot tidak mengambil data tentang cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Artinya, kesalahan itu terkait dengan manajemen, sama sekali tidak ada hubungannya dengan biaya penerbangan yang murah.

Menurut saya, rencana pemerintah untuk menghapus penerbangan berbiaya murah ini tidak tepat. Akan lebih baik jika yang diperbaiki adalah sistem, pelayanan dari perusahaan penerbangan tersebut. Sebab, tidak semua yang murah itu pelayanannya buruk (meskipun di negara ini kenyataannya adalah demikian), dan tidak ada jaminan pula bahwa yang mahal itu pelayanannya baik. Kemudian, pemerintah dapat melakukan pengawasan ketat terhadap sistem yang berjalan itu.

Ini cuma pendapat saya lho. Mungkin jika dilihat dari sudut pandang yang lain, lain lagi ceritanya.

Kamis, 01 Januari 2015



Rindu

Aku melangkah di fajar buta
meraba antara mimpi dan berjuta warna
menyilaukan, memabukkan

Lelah,
karena meski indah namun aku berpeluh
luka menganga di mana-mana
perih bersesakkan di dada
mata semerah saga
pipi basah,
hati gundah,

Dingin
karena meski indah namun aku membeku
genggaman dan pelukan serupa salju
putih, syahdu,
namun tajam menusuk dinding relungku

hangat menguap begitu cepat

Aku melangkah di fajar buta
meraba di antara rintik dan terik
di antara tajam kerikil dan semerbak bunga
di antara merdu syair dan lengking nada
sendiri jua

Aku rindu senja di halte tua
saat kita bersua
bersisian dalam gelak tawa
berpelukan bertukar berita

Aku rindu senja di halte tua
meski gelap merayap, kita bergandengan berdua

Kamis, 25 Desember 2014

Diari Lama:
Bara itu Namanya 'Jatuh Cinta'

Saya membuka-buka lagi diari lama saya kemarin. Memang sudah lama saya enggak menulis di diari. Kemalasan saya sudah pada taraf akut rupanya. Sampai menulis diari pun malas.

Memang bukan keharusan bagi saya untuk menulis di diari. Namun, rasanya aneh saja melihat diri saya yang sekarang. Dulu saya bisa menulis di diari 2-3 kali dalam sehari. Saya tumpahkan segala pikir dan rasa, dari hal yang penting sampai perkara remeh temeh.

Saya geli, heran, takjub, dan malu sendiri membaca diari lama saya. Geli dan malu karena diri saya di masa lalu konyol betul. Sedikit-sedikit mewek, gampang betul terluka untuk urusan hati. Heran dan takjub karena kaget sendiri melihat diksi-diksi yang saya lahirkan dulu. Kok bisa saya bikin kata-kata "kayak begitu" untuk mendeskripsikan apa yang saya rasa, pikir, dan inginkan saat itu. Rasanya sekarang ini saya enggak bisa menulis seperti itu lagi.

Saya bandingkan tulisan-tulisan dulu dengan tulisan di diari saya beberapa hari terakhir. Hasil pengamatan saya, tulisan yang "baru" ini terasa hambar, enggak "bernyawa", atau istilahnya tak bernas. Tumpul pisau kata-kata saya.

Kenapa bisa begitu ya? Saya berasumsi mungkin karena dulu saya sedang tertarik pada seseorang makanya saya bisa dapet diksi-diksi itu. Mungkinkah karena saya lagi jatuh cinta saat itu makanya saya bisa bikin kata-kata puitis? Mungkinkah karena saya lagi jatuh cinta saat itu lantas saya produktif menulis? Bisa jadi juga karena saya udah lama enggak menulis di diari.

Kadang enggak habis pikir melihat ada orang yang semangat menulisnya bisa terjaga. Ada teman saya yang begitu. Dia getol betul menulis, selalu sempat menulis, padahal dia seorang guru yang bejibun tugasnya, plus dia juga menjadi pengurus organisasi kepenulisan. Dia juga bahkan jadi editor buletin bulanan. Pun meski udah sibuk begitu, dia masih sempat berkarya, menang lomba ini-itu, jadi juri lomba nulis, dan sebagainya.

Saya aja masih banyak alasan kalau diajak teman ikut lomba nulis ini-itu. Dasarnya saya pemalas. Susah deh. Kayak begini kok saya bercita-cita mau jadi penulis.

Meski begitu, saya sadar betul, saya memang bisa produktif kalau lagi jatuh cinta (preeeeeeet... :p). Tapi repot amat ya kalau menulis nunggu jatuh cinta. Masak menulis kok musiman. 

Teman saya yang lain pernah bilang, ketika dia sedang jatuh cinta, dia memanfaatkan momen itu untuk berkarya. Tapi kalau dia lagi enggak jatuh cinta, dia tetap berkarya. Ya iyalah. Lha wong dia wartawan. Hahaha...
Meski begitu, karya-karyanya memang luar biasa; tulisannya puitiiiiiiiis banget. Menurut saya, dia seniman kata. :)

Saya berharap bisa menulis dalam situasi apa pun, tak harus nunggu jatuh cinta supaya produktif menulis. Kalau pun sedang jatuh cinta, saya syukuri anugerah itu. Artinya saya bisa lebih produktif lagi menulis.:D

Mungkin tak perlu jatuh cinta pada sosok adam untuk bisa berkarya. Mungkin saya nanti akan jatuh cinta pada ikan di kolam, daun yang gugur, gunung, hujan, angin, atau secangkir kopi ...
Dan saat itu semestinya enggak ada alasan lagi untuk tidak berkarya.

Senin, 22 Desember 2014

What is your passion, Nuy?

Beberapa hari lalu, seorang teman bertanya pada teman kami yang lain: Passion kamu apa?

Meski pertanyaan itu diajukan bukan kepada saya, saya tertohok dengan pertanyaan itu. Ya, apa passion saya? Apa yang benar-benar saya cintai untuk saya lakukan dan saya tekuni? Apa yang benar-benar menjadi gairah hidup saya? Apa yang menjadi lentera jiwa saya?

Saya begitu pembosan. Saking mudah bosannya saya, saya mencoba hal-hal baru. Akhir-akhir ini saya banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak biasa saya lakukan. Saya menjajal hal-hal yang sama sekali baru bagi saya. Saya belajar membuat penganan (membuat tape ketan) dan belakangan saya belajar membuat kerajinan tangan dari manik-manik.


Es Tape Ketan Buatan Saya :D

Hiasan Keranjang Aqua dari Manik-Manik Buatan Saya :)
 

Dalam diri saya ada perasaan ingin menggali potensi diri, ingin mencari apa yang benar-benar saya sukai untuk saya kerjakan. Mungkin saya sedang mencari apa passion saya.

Saya pernah merasa menemukan passion saya. Kayaknya saya suka menulis. Tapi anehnya, masak saya masih ragu, masih bilang 'kayaknya'. Semestinya, jika benar-benar sudah menemukan apa yang dicari, seseorang tidak akan ragu, tidak akan berkata 'kayaknya'.

Saya sangat suka menulis. Dulu. Kemudian saya menjadi malas menulis. Ya, malas. Malas saja alasannya. Bukan karena sibuk "ini" atau sibuk "itu". Kenyataannya saya memang malas. Dan sepertinya sekarang saya sedang mencoba kembali mengatasi rasa malas saya itu.

Saya membaca blog seorang teman. Blognya berisi macam-macam: puisi, prosa, macam-macamlah. Di kumpulan puisi dan prosanya itu ada saya, ada cerita kami. Ketika membaca kembali tulisannya, tiba-tiba muncul perasaan rindu padanya yang entah di mana sekarang. Saya sangat merindukannya. Dia mencatat mimpi-mimpi saya, mengingatkan saya pada mimpi-mimpi saya yang dulu.

Sebuah tulisan memang ajaib. Caranya menyimpan sebuah cerita jauh lebih berkesan daripada alat pengabadian momen manapun.

Saya ingin kembali menulis: untuk saya, untuk mimpi-mimpi saya, dan untuknya.

Saya ingin kembali menulis meskipun nanti muncul lagi rasa malas itu. Menunggu menemukan apa yang benar-benar menjadi passion saya itu benar-benar membikin pusing. Saya putuskan enggak mau banyak mikir lagi. Saya mau belajar mencintai apa yang saya kerjakan, apa pun itu. 

Do what you love; love what you do.

Selasa, 25 November 2014

Cerita Dibalik Tape Ketan Hijau 


Saya dan keluarga saya memang pencinta penganan khas Indonesia yang satu ini. Tidak ada yang tidak suka kuliner ini di rumah saya. Mulai dari ayah, ibu, kakak-kakak, hingga adik-adik saya, semua sangat menggemari tape ketan ini. 

Namun, betapa pun kami sangat menyukainya, kami tak pernah membuatnya sendiri. Maka Hari Besar Idulfitri selalu menjadi momen yang kami nantikan--tentunya silaturahmi adalah yang paling kami nantikan-- karena selalu ada tape ketan hitam favorit kami (Di hari biasa, tape ketan ini sangat jarang terhidang di meja makan kami). Itu pun kami tidak membuatnya secara khusus. Yang biasa membuat tape ketan hitam itu adalah nenek tercinta kami, Nenek Nurjanah. Dia selalu--tidak pernah tidak--membuat tape ketan setiap Lebaran tiba. 

Ketika Nenek Nurjanah tidak lagi bersama kami--karena lebih dulu dipanggil Yang Kuasa, tak pernah lagi ada yang membuat tape ketan setiap Lebaran. Lebaran pun kami lalui tanpa tape ketan. :'(

Mitos yang selama ini selalu dikisahkan ibu saya adalah bahwa membuat tape tidaklah sembarangan. Katanya, proses pembuatannya harus hati-hati. Harus bersih saat mencuci beras ketan. Kalau yang ini saya tentu setuju. Memang harus bersih dong. Tapi, ada satu lagi syaratnya jika ingin tape itu "jadi": si pembuat tape harus tidak boleh dalam keadaan menstruasi!

Wew, aneh kan? Kata ibu saya lagi, biasanya hanya orang tertentu saja yang bisa membuat tape. Jadi, menurut ibu saya, keahlian membuat tape itu semacam anugerah Tuhan. Saya tentu tidak lantas percaya. Menurut saya, semua orang pasti bisa membuatnya, asal tahu caranya, punya pengetahuannya.

Saya pun ingin membuktikan sendiri bahwa mitos itu tidak benar. Maka Lebaran lalu (tahun 2014 ini), saya belajar membuat tape. Percobaan pertama saya gagal: tape masih keras (ngeletis), asam, tidak ada airnya, hambar, seperti nasi mentah yang belum dikukus. Kecewa sedikit saya. Tapi saya merasa hal ini wajar. Namanya juga baru pertama mencoba. Thomas Alfa Edison aja sampai gagal ribuan kali demi penemuan lampu pijarnya.

Setidaknya dari kegagalan itu saya tahu: saat memberi ragi, pastikan bahwa ketan yang sudah dikukus itu dalam keadaan sudah benar-benar dingin! Saya agak enggan mencoba lagi setelah gagal yang pertama itu. Sindrom kegagalan itu agak memberi efek kapok untuk menjajal lagi. 

Ibu saya yang melihat produk gagal saya tadi itu jadi gemas melihat saya. "Terinspirasi" dari kegagalan saya, ia pun ikut-ikutan membuat tape ketan versinya sendiri. Ia mempraktikkan cara membuat tape yang--menurutnya--benar. Ajaib! Tape itu jadi, padahal itu pertama kalinya ibu saya membuat tape ketan. Hebat betul ya... :D

Saya membatin. Mulai deh saya berprasangka: jangan-jangan mitos bahwa hanya orang tertentu saja (yang dianugerahi Tuhan keahlian membuat tape) yang bisa membuat tape ketan itu benar! :(

Enggak. Ini enggak masuk akal. Pasti itu cuma mitos. Maka beberapa hari lalu saya mulai membuat tape ketan lagi. Kali ini saya mencoba memberi warna hijau pada tape tersebut supaya menarik. Saya praktikkan dengan hati-hati betul tahap-tahap membuat tape yang diajarkan ibu saya. Hasilnya ...
Eeng iing eeng, tape ketan hijau saya manis, asam, banyak airnya, enggak keras (enggak ngeletis). :D
Badai.... Bisa  juga saya bikin tape ketan! Hehehe...

 Tape Ketan Pertama Buatan Saya

Bangkit percaya diri saya melihat keberhasilan yang pertama ini. Saya mulai menjelajah ke percobaan-percobaan lain, bereksperimen dengan bahan-bahan lain yang bisa dihidangkan bersama tape ketan. 

Saat ini saya sudah mencoba membuat es tape ketan hijau versi saya. Saya ingin juga menjajal olahan-olahan lain dari tape ketan. Sempat terbetik ingin memiliki usaha sendiri di bidang kuliner. Saya rasa tape ketan ini bisa menjadi inspirasi saya.

Deuh, baru berhasil sekali aja saya udah ngehayal gini. Hahaha.
Biarlah. Ini mimpi saya, yang baru ... :)

Senin, 17 November 2014

Minder

Saya merasa seperti orang yang banyak luka. Gempuran peristiwa yang terjadi pada diri saya enggak bisa saya atasi. Dalam diri saya, saya terluka. Saya merasa perlu mengobati luka ini, tapi enggak tahu bagaimana caranya.

Luka yang mengendap dalam diri ini ternyata memengaruhi cara saya memandang dan menjalani hidup saya. Misalnya, waktu masih di bangku SD kelas 4 saya pernah dimarahi guru “X” saya habis-habisan di depan wali kelas dan teman-teman sekelas saya. Saya menangis terguncang-guncang di depan kelas dan menjadi tontonan teman sekelas dan wali kelas saya itu. Saya malu, saya benci guru “X” itu.

Saya dimarahi untuk kesalahan yang--menurut saya--tidak saya lakukan. Semua bermula dari keheranan wali kelas saya terhadap saya yang tidak mau lagi menjadi bendahara kelas. Saat itu saya memang menjabat bendahara kelas. Guru “X” pun meminta saya untuk mengumpulkan uang pembayaran LKS (Lembar Kerja Siswa) teman-teman sekelas. Peraturannya, secara tidak rutin guru saya itu akan mengambil uang dari siswa yang sudah membayar LKS (melalui saya). Berapa pun yang ada, saya setorkan. Dan setiap ia mengambil uang itu dari saya, dia akan bertanda tangan sebagai bukti bahwa ia sudah mengambilnya.

Di perjalanan, terjadi kesalahpahaman. Pernah suatu ketika beliau mengambil uang itu tanpa bertanda tangan. Mungkin beliau lupa. Gara-gara beliau lupa tanda tangan, terjadi kesalahan dalam “administrasi keuangan” saya. Dia mempertanyakan beberapa siswa yang belum membayar LKS. Saya berkeras bahwa siswa-siswa tersebut sudah membayar. Saya katakan bahwa semua uang LKS sudah saya setorkan pada beliau. Namun beliau mengelak.

Secara tidak langsung guru tersebut menuduh saya tidak jujur. Enggak terpikir sama sekali oleh saya untuk tak jujur. Sebab, saya tahu uang-uang itu adalah uang orang lain, uang teman-teman saya. Ditambah lagi, saya suka jika ada guru yang memercayai saya. Saya suka mengambil hati guru saya dengan mengerjakan atau melakukan apa pun yang mereka mintakan tolong.

Karena kejadian itu, saya pun mengutarakan keberatan saya menjadi bendahara kelas lagi. Saya mengundurkan diri. Saya merasa jera menjadi bendaha kelas.

Wali kelas saya yang saat itu mendengar keputusan saya menjadi bingung. Beliau menanyakan alasan saya. Dengan polos saya utarakan kejadian tentang “uang LKS” itu. Wali kelas saya mencoba mencari tahu kabar tersebut dari guru “X” langsung.

Tampaknya guru “X” saya itu tidak terima dengan cerita versi saya dan ia pun memuntahkan segala ketidakterimaannya itu dengan memarahi saya di depan kelas, di depan siswa lain dan wali kelas saya. Terang sekali dia tidak ingin nama baiknya tercemar gara-gara “cerita saya”.

Dia bela habis-habisan dirinya. Dia utarakan kebenaran versinya. Dia tunjuk-tunjuk saya di depan kelas. Dia tidak peduli saya menangis menahan perasaan yang bercampur aduk dalam diri saya: saya benci guru tersebut, saya marah, saya sedih dia memperlakukan saya seperti itu. Saya rasa saya dendam.

Semenjak itu saya jadi merasa minder untuk berkembang, sekadar tampil, atau menonjolkan diri. Rasanya selalu ada yang salah kalau saya mencoba untuk menunjukkan eksistensi saya. Saya enggak percaya diri pada kemampuan diri saya sendiri. Perasaan minder itu terbawa-bawa hingga ke bangku SMP, SMA, kuliah, dan di lingkungan kerja. Yang tercipta justru kekonyolan-kekonyolan saban saya berusaha untuk menunjukkan eksistensi diri saya. (Perasaan ingin menunjukkan eksistensi diri ini lumrah saya rasa.)

Saat bersosialisasi dengan teman, dengan orang-orang terdekat selain keluarga, pun saya minder. Bahkan, saat di bangku SMA saya hanya punya satu orang teman dekat. Banyak teman yang saya ingat tapi hanya dia yang mengingat saya. Di lingkungan kerja, saya enggak percaya diri dengan kemampuan saya sendiri, enggak percaya dengan kemampuan saya dalam mengerjakan sesuatu.

Bahkan, saat kini saya sedang menjalin hubungan dengan seorang lawan jenis, pun saya merasa tidak percaya diri. Dia mengeluhkan masalah saya ini. Tiba-tiba saya merasa tidak ada orang yang dapat memahami saya. Dia, orang terdekat saya, pun tidak memahami saya. Saya menjadi sangat tertutup. Ditambah masalah ekonomi keluarga dan sebagainya, saya semakin tak percaya diri.

Saya sadar seharusnya saya enggak boleh begini. Tuhan sudah luar biasa menganugerahi saya yang sempurna begini. Saya sadar saya punya potensi yang bisa saya kembangkan. Sebenarnya dengan merasa minder, saya merasa berdosa. Sama aja saya enggak bersyukur atas nikmat Tuhan yang enggak pernah bisa dihitung ini. Memang, enggak pantas kalau ada hamba yang enggak bersyukur atas ciptaan Tuhannya.

Kadang, kalau lagi nonton video-video motivasi atau melihat orang yang keadaannya jauh di bawah saya, saya langsung tersadar bahwa saya enggak boleh minder. Tapi kadang cuma sekejap aja sadarnya. Udahnya, kambuh lagi penyakit minder saya.

Jika fisik yang terluka, saya enggak apa-apa. Tapi kalau dalam diri saya yang terluka, saya sungguh enggak bisa mengatasinya. Setiap ada peristiwa dalam kehidupan saya yang membuat “dalam diri” saya terluka, saya selalu berdoa supaya Tuhan “mengobati” saya dengan cara-Nya yang selalu misterius itu...

Saya ingin memaafkan guru “X” itu. Tapi mungkin sekali juga ada kesalahan yang saya lakukan. Tentunya yang paling sulit adalah memaafkan diri sendiri. Ya Gusti, yang paling berat adalah yang terakhir itu: memaafkan diri sendiri. ...