Senin, 17 November 2014

Minder

Saya merasa seperti orang yang banyak luka. Gempuran peristiwa yang terjadi pada diri saya enggak bisa saya atasi. Dalam diri saya, saya terluka. Saya merasa perlu mengobati luka ini, tapi enggak tahu bagaimana caranya.

Luka yang mengendap dalam diri ini ternyata memengaruhi cara saya memandang dan menjalani hidup saya. Misalnya, waktu masih di bangku SD kelas 4 saya pernah dimarahi guru “X” saya habis-habisan di depan wali kelas dan teman-teman sekelas saya. Saya menangis terguncang-guncang di depan kelas dan menjadi tontonan teman sekelas dan wali kelas saya itu. Saya malu, saya benci guru “X” itu.

Saya dimarahi untuk kesalahan yang--menurut saya--tidak saya lakukan. Semua bermula dari keheranan wali kelas saya terhadap saya yang tidak mau lagi menjadi bendahara kelas. Saat itu saya memang menjabat bendahara kelas. Guru “X” pun meminta saya untuk mengumpulkan uang pembayaran LKS (Lembar Kerja Siswa) teman-teman sekelas. Peraturannya, secara tidak rutin guru saya itu akan mengambil uang dari siswa yang sudah membayar LKS (melalui saya). Berapa pun yang ada, saya setorkan. Dan setiap ia mengambil uang itu dari saya, dia akan bertanda tangan sebagai bukti bahwa ia sudah mengambilnya.

Di perjalanan, terjadi kesalahpahaman. Pernah suatu ketika beliau mengambil uang itu tanpa bertanda tangan. Mungkin beliau lupa. Gara-gara beliau lupa tanda tangan, terjadi kesalahan dalam “administrasi keuangan” saya. Dia mempertanyakan beberapa siswa yang belum membayar LKS. Saya berkeras bahwa siswa-siswa tersebut sudah membayar. Saya katakan bahwa semua uang LKS sudah saya setorkan pada beliau. Namun beliau mengelak.

Secara tidak langsung guru tersebut menuduh saya tidak jujur. Enggak terpikir sama sekali oleh saya untuk tak jujur. Sebab, saya tahu uang-uang itu adalah uang orang lain, uang teman-teman saya. Ditambah lagi, saya suka jika ada guru yang memercayai saya. Saya suka mengambil hati guru saya dengan mengerjakan atau melakukan apa pun yang mereka mintakan tolong.

Karena kejadian itu, saya pun mengutarakan keberatan saya menjadi bendahara kelas lagi. Saya mengundurkan diri. Saya merasa jera menjadi bendaha kelas.

Wali kelas saya yang saat itu mendengar keputusan saya menjadi bingung. Beliau menanyakan alasan saya. Dengan polos saya utarakan kejadian tentang “uang LKS” itu. Wali kelas saya mencoba mencari tahu kabar tersebut dari guru “X” langsung.

Tampaknya guru “X” saya itu tidak terima dengan cerita versi saya dan ia pun memuntahkan segala ketidakterimaannya itu dengan memarahi saya di depan kelas, di depan siswa lain dan wali kelas saya. Terang sekali dia tidak ingin nama baiknya tercemar gara-gara “cerita saya”.

Dia bela habis-habisan dirinya. Dia utarakan kebenaran versinya. Dia tunjuk-tunjuk saya di depan kelas. Dia tidak peduli saya menangis menahan perasaan yang bercampur aduk dalam diri saya: saya benci guru tersebut, saya marah, saya sedih dia memperlakukan saya seperti itu. Saya rasa saya dendam.

Semenjak itu saya jadi merasa minder untuk berkembang, sekadar tampil, atau menonjolkan diri. Rasanya selalu ada yang salah kalau saya mencoba untuk menunjukkan eksistensi saya. Saya enggak percaya diri pada kemampuan diri saya sendiri. Perasaan minder itu terbawa-bawa hingga ke bangku SMP, SMA, kuliah, dan di lingkungan kerja. Yang tercipta justru kekonyolan-kekonyolan saban saya berusaha untuk menunjukkan eksistensi diri saya. (Perasaan ingin menunjukkan eksistensi diri ini lumrah saya rasa.)

Saat bersosialisasi dengan teman, dengan orang-orang terdekat selain keluarga, pun saya minder. Bahkan, saat di bangku SMA saya hanya punya satu orang teman dekat. Banyak teman yang saya ingat tapi hanya dia yang mengingat saya. Di lingkungan kerja, saya enggak percaya diri dengan kemampuan saya sendiri, enggak percaya dengan kemampuan saya dalam mengerjakan sesuatu.

Bahkan, saat kini saya sedang menjalin hubungan dengan seorang lawan jenis, pun saya merasa tidak percaya diri. Dia mengeluhkan masalah saya ini. Tiba-tiba saya merasa tidak ada orang yang dapat memahami saya. Dia, orang terdekat saya, pun tidak memahami saya. Saya menjadi sangat tertutup. Ditambah masalah ekonomi keluarga dan sebagainya, saya semakin tak percaya diri.

Saya sadar seharusnya saya enggak boleh begini. Tuhan sudah luar biasa menganugerahi saya yang sempurna begini. Saya sadar saya punya potensi yang bisa saya kembangkan. Sebenarnya dengan merasa minder, saya merasa berdosa. Sama aja saya enggak bersyukur atas nikmat Tuhan yang enggak pernah bisa dihitung ini. Memang, enggak pantas kalau ada hamba yang enggak bersyukur atas ciptaan Tuhannya.

Kadang, kalau lagi nonton video-video motivasi atau melihat orang yang keadaannya jauh di bawah saya, saya langsung tersadar bahwa saya enggak boleh minder. Tapi kadang cuma sekejap aja sadarnya. Udahnya, kambuh lagi penyakit minder saya.

Jika fisik yang terluka, saya enggak apa-apa. Tapi kalau dalam diri saya yang terluka, saya sungguh enggak bisa mengatasinya. Setiap ada peristiwa dalam kehidupan saya yang membuat “dalam diri” saya terluka, saya selalu berdoa supaya Tuhan “mengobati” saya dengan cara-Nya yang selalu misterius itu...

Saya ingin memaafkan guru “X” itu. Tapi mungkin sekali juga ada kesalahan yang saya lakukan. Tentunya yang paling sulit adalah memaafkan diri sendiri. Ya Gusti, yang paling berat adalah yang terakhir itu: memaafkan diri sendiri. ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar