Minder
Saya merasa seperti orang yang banyak luka. Gempuran
peristiwa yang terjadi pada diri saya enggak bisa saya atasi. Dalam diri saya,
saya terluka. Saya merasa perlu mengobati luka ini, tapi enggak tahu bagaimana
caranya.
Luka yang mengendap dalam diri ini ternyata memengaruhi cara
saya memandang dan menjalani hidup saya. Misalnya, waktu masih di bangku SD
kelas 4 saya pernah dimarahi guru “X” saya habis-habisan di depan wali kelas
dan teman-teman sekelas saya. Saya menangis terguncang-guncang di depan kelas dan
menjadi tontonan teman sekelas dan wali kelas saya itu. Saya malu, saya benci
guru “X” itu.
Saya dimarahi untuk kesalahan yang--menurut saya--tidak saya
lakukan. Semua bermula dari keheranan wali kelas saya terhadap saya yang tidak
mau lagi menjadi bendahara kelas. Saat itu saya memang menjabat bendahara
kelas. Guru “X” pun meminta saya untuk mengumpulkan uang pembayaran LKS (Lembar
Kerja Siswa) teman-teman sekelas. Peraturannya, secara tidak rutin guru saya
itu akan mengambil uang dari siswa yang sudah membayar LKS (melalui saya).
Berapa pun yang ada, saya setorkan. Dan setiap ia mengambil uang itu dari saya,
dia akan bertanda tangan sebagai bukti bahwa ia sudah mengambilnya.
Di perjalanan, terjadi kesalahpahaman. Pernah suatu ketika
beliau mengambil uang itu tanpa bertanda tangan. Mungkin beliau lupa. Gara-gara
beliau lupa tanda tangan, terjadi kesalahan dalam “administrasi keuangan” saya. Dia
mempertanyakan beberapa siswa yang belum membayar LKS. Saya berkeras bahwa
siswa-siswa tersebut sudah membayar. Saya katakan bahwa semua uang LKS sudah
saya setorkan pada beliau. Namun beliau mengelak.
Secara tidak langsung guru tersebut menuduh saya tidak
jujur. Enggak terpikir sama sekali oleh saya untuk tak jujur. Sebab, saya tahu
uang-uang itu adalah uang orang lain, uang teman-teman saya. Ditambah lagi,
saya suka jika ada guru yang memercayai saya. Saya suka mengambil hati guru
saya dengan mengerjakan atau melakukan apa pun yang mereka mintakan tolong.
Karena kejadian itu, saya pun mengutarakan keberatan saya
menjadi bendahara kelas lagi. Saya mengundurkan diri. Saya merasa jera menjadi
bendaha kelas.
Wali kelas saya yang saat itu mendengar keputusan saya
menjadi bingung. Beliau menanyakan alasan saya. Dengan polos saya utarakan
kejadian tentang “uang LKS” itu. Wali kelas saya mencoba mencari tahu kabar
tersebut dari guru “X” langsung.
Tampaknya guru “X” saya itu tidak terima dengan cerita versi
saya dan ia pun memuntahkan segala ketidakterimaannya itu dengan memarahi saya
di depan kelas, di depan siswa lain dan wali kelas saya. Terang sekali dia
tidak ingin nama baiknya tercemar gara-gara “cerita saya”.
Dia bela habis-habisan dirinya. Dia utarakan kebenaran
versinya. Dia tunjuk-tunjuk saya di depan kelas. Dia tidak peduli saya menangis
menahan perasaan yang bercampur aduk dalam diri saya: saya benci guru tersebut,
saya marah, saya sedih dia memperlakukan saya seperti itu. Saya rasa saya
dendam.
Semenjak itu saya jadi merasa minder untuk berkembang, sekadar
tampil, atau menonjolkan diri. Rasanya selalu ada yang salah kalau saya mencoba
untuk menunjukkan eksistensi saya. Saya enggak percaya diri pada kemampuan diri
saya sendiri. Perasaan minder itu terbawa-bawa hingga ke bangku SMP, SMA,
kuliah, dan di lingkungan kerja. Yang tercipta justru kekonyolan-kekonyolan
saban saya berusaha untuk menunjukkan eksistensi diri saya. (Perasaan ingin menunjukkan eksistensi diri
ini lumrah saya rasa.)
Saat bersosialisasi dengan teman, dengan orang-orang
terdekat selain keluarga, pun saya minder. Bahkan, saat di bangku SMA saya
hanya punya satu orang teman dekat. Banyak teman yang saya ingat tapi hanya dia
yang mengingat saya. Di lingkungan kerja, saya enggak percaya diri dengan
kemampuan saya sendiri, enggak percaya dengan kemampuan saya dalam mengerjakan
sesuatu.
Bahkan, saat kini saya sedang menjalin hubungan dengan
seorang lawan jenis, pun saya merasa tidak percaya diri. Dia mengeluhkan
masalah saya ini. Tiba-tiba saya merasa tidak ada orang yang dapat memahami
saya. Dia, orang terdekat saya, pun tidak memahami saya. Saya menjadi sangat
tertutup. Ditambah masalah ekonomi keluarga dan sebagainya, saya semakin tak
percaya diri.
Saya sadar seharusnya saya enggak boleh begini. Tuhan sudah
luar biasa menganugerahi saya yang sempurna begini. Saya sadar saya punya
potensi yang bisa saya kembangkan. Sebenarnya dengan merasa minder, saya merasa
berdosa. Sama aja saya enggak
bersyukur atas nikmat Tuhan yang enggak pernah bisa dihitung ini. Memang, enggak pantas kalau ada hamba yang enggak bersyukur
atas ciptaan Tuhannya.
Kadang, kalau lagi
nonton video-video motivasi atau
melihat orang yang keadaannya jauh di bawah saya, saya langsung tersadar bahwa
saya enggak boleh minder. Tapi kadang
cuma sekejap aja sadarnya. Udahnya, kambuh lagi penyakit minder saya.
Jika fisik yang terluka, saya enggak apa-apa. Tapi kalau
dalam diri saya yang terluka, saya sungguh enggak bisa mengatasinya. Setiap ada
peristiwa dalam kehidupan saya yang membuat “dalam diri” saya terluka, saya
selalu berdoa supaya Tuhan “mengobati” saya dengan cara-Nya yang selalu misterius
itu...
Saya ingin memaafkan guru “X” itu. Tapi mungkin sekali juga ada kesalahan yang saya lakukan. Tentunya
yang paling sulit adalah memaafkan diri sendiri. Ya Gusti, yang paling berat
adalah yang terakhir itu: memaafkan diri sendiri. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar