Selasa, 25 November 2014

Cerita Dibalik Tape Ketan Hijau 


Saya dan keluarga saya memang pencinta penganan khas Indonesia yang satu ini. Tidak ada yang tidak suka kuliner ini di rumah saya. Mulai dari ayah, ibu, kakak-kakak, hingga adik-adik saya, semua sangat menggemari tape ketan ini. 

Namun, betapa pun kami sangat menyukainya, kami tak pernah membuatnya sendiri. Maka Hari Besar Idulfitri selalu menjadi momen yang kami nantikan--tentunya silaturahmi adalah yang paling kami nantikan-- karena selalu ada tape ketan hitam favorit kami (Di hari biasa, tape ketan ini sangat jarang terhidang di meja makan kami). Itu pun kami tidak membuatnya secara khusus. Yang biasa membuat tape ketan hitam itu adalah nenek tercinta kami, Nenek Nurjanah. Dia selalu--tidak pernah tidak--membuat tape ketan setiap Lebaran tiba. 

Ketika Nenek Nurjanah tidak lagi bersama kami--karena lebih dulu dipanggil Yang Kuasa, tak pernah lagi ada yang membuat tape ketan setiap Lebaran. Lebaran pun kami lalui tanpa tape ketan. :'(

Mitos yang selama ini selalu dikisahkan ibu saya adalah bahwa membuat tape tidaklah sembarangan. Katanya, proses pembuatannya harus hati-hati. Harus bersih saat mencuci beras ketan. Kalau yang ini saya tentu setuju. Memang harus bersih dong. Tapi, ada satu lagi syaratnya jika ingin tape itu "jadi": si pembuat tape harus tidak boleh dalam keadaan menstruasi!

Wew, aneh kan? Kata ibu saya lagi, biasanya hanya orang tertentu saja yang bisa membuat tape. Jadi, menurut ibu saya, keahlian membuat tape itu semacam anugerah Tuhan. Saya tentu tidak lantas percaya. Menurut saya, semua orang pasti bisa membuatnya, asal tahu caranya, punya pengetahuannya.

Saya pun ingin membuktikan sendiri bahwa mitos itu tidak benar. Maka Lebaran lalu (tahun 2014 ini), saya belajar membuat tape. Percobaan pertama saya gagal: tape masih keras (ngeletis), asam, tidak ada airnya, hambar, seperti nasi mentah yang belum dikukus. Kecewa sedikit saya. Tapi saya merasa hal ini wajar. Namanya juga baru pertama mencoba. Thomas Alfa Edison aja sampai gagal ribuan kali demi penemuan lampu pijarnya.

Setidaknya dari kegagalan itu saya tahu: saat memberi ragi, pastikan bahwa ketan yang sudah dikukus itu dalam keadaan sudah benar-benar dingin! Saya agak enggan mencoba lagi setelah gagal yang pertama itu. Sindrom kegagalan itu agak memberi efek kapok untuk menjajal lagi. 

Ibu saya yang melihat produk gagal saya tadi itu jadi gemas melihat saya. "Terinspirasi" dari kegagalan saya, ia pun ikut-ikutan membuat tape ketan versinya sendiri. Ia mempraktikkan cara membuat tape yang--menurutnya--benar. Ajaib! Tape itu jadi, padahal itu pertama kalinya ibu saya membuat tape ketan. Hebat betul ya... :D

Saya membatin. Mulai deh saya berprasangka: jangan-jangan mitos bahwa hanya orang tertentu saja (yang dianugerahi Tuhan keahlian membuat tape) yang bisa membuat tape ketan itu benar! :(

Enggak. Ini enggak masuk akal. Pasti itu cuma mitos. Maka beberapa hari lalu saya mulai membuat tape ketan lagi. Kali ini saya mencoba memberi warna hijau pada tape tersebut supaya menarik. Saya praktikkan dengan hati-hati betul tahap-tahap membuat tape yang diajarkan ibu saya. Hasilnya ...
Eeng iing eeng, tape ketan hijau saya manis, asam, banyak airnya, enggak keras (enggak ngeletis). :D
Badai.... Bisa  juga saya bikin tape ketan! Hehehe...

 Tape Ketan Pertama Buatan Saya

Bangkit percaya diri saya melihat keberhasilan yang pertama ini. Saya mulai menjelajah ke percobaan-percobaan lain, bereksperimen dengan bahan-bahan lain yang bisa dihidangkan bersama tape ketan. 

Saat ini saya sudah mencoba membuat es tape ketan hijau versi saya. Saya ingin juga menjajal olahan-olahan lain dari tape ketan. Sempat terbetik ingin memiliki usaha sendiri di bidang kuliner. Saya rasa tape ketan ini bisa menjadi inspirasi saya.

Deuh, baru berhasil sekali aja saya udah ngehayal gini. Hahaha.
Biarlah. Ini mimpi saya, yang baru ... :)

Senin, 17 November 2014

Minder

Saya merasa seperti orang yang banyak luka. Gempuran peristiwa yang terjadi pada diri saya enggak bisa saya atasi. Dalam diri saya, saya terluka. Saya merasa perlu mengobati luka ini, tapi enggak tahu bagaimana caranya.

Luka yang mengendap dalam diri ini ternyata memengaruhi cara saya memandang dan menjalani hidup saya. Misalnya, waktu masih di bangku SD kelas 4 saya pernah dimarahi guru “X” saya habis-habisan di depan wali kelas dan teman-teman sekelas saya. Saya menangis terguncang-guncang di depan kelas dan menjadi tontonan teman sekelas dan wali kelas saya itu. Saya malu, saya benci guru “X” itu.

Saya dimarahi untuk kesalahan yang--menurut saya--tidak saya lakukan. Semua bermula dari keheranan wali kelas saya terhadap saya yang tidak mau lagi menjadi bendahara kelas. Saat itu saya memang menjabat bendahara kelas. Guru “X” pun meminta saya untuk mengumpulkan uang pembayaran LKS (Lembar Kerja Siswa) teman-teman sekelas. Peraturannya, secara tidak rutin guru saya itu akan mengambil uang dari siswa yang sudah membayar LKS (melalui saya). Berapa pun yang ada, saya setorkan. Dan setiap ia mengambil uang itu dari saya, dia akan bertanda tangan sebagai bukti bahwa ia sudah mengambilnya.

Di perjalanan, terjadi kesalahpahaman. Pernah suatu ketika beliau mengambil uang itu tanpa bertanda tangan. Mungkin beliau lupa. Gara-gara beliau lupa tanda tangan, terjadi kesalahan dalam “administrasi keuangan” saya. Dia mempertanyakan beberapa siswa yang belum membayar LKS. Saya berkeras bahwa siswa-siswa tersebut sudah membayar. Saya katakan bahwa semua uang LKS sudah saya setorkan pada beliau. Namun beliau mengelak.

Secara tidak langsung guru tersebut menuduh saya tidak jujur. Enggak terpikir sama sekali oleh saya untuk tak jujur. Sebab, saya tahu uang-uang itu adalah uang orang lain, uang teman-teman saya. Ditambah lagi, saya suka jika ada guru yang memercayai saya. Saya suka mengambil hati guru saya dengan mengerjakan atau melakukan apa pun yang mereka mintakan tolong.

Karena kejadian itu, saya pun mengutarakan keberatan saya menjadi bendahara kelas lagi. Saya mengundurkan diri. Saya merasa jera menjadi bendaha kelas.

Wali kelas saya yang saat itu mendengar keputusan saya menjadi bingung. Beliau menanyakan alasan saya. Dengan polos saya utarakan kejadian tentang “uang LKS” itu. Wali kelas saya mencoba mencari tahu kabar tersebut dari guru “X” langsung.

Tampaknya guru “X” saya itu tidak terima dengan cerita versi saya dan ia pun memuntahkan segala ketidakterimaannya itu dengan memarahi saya di depan kelas, di depan siswa lain dan wali kelas saya. Terang sekali dia tidak ingin nama baiknya tercemar gara-gara “cerita saya”.

Dia bela habis-habisan dirinya. Dia utarakan kebenaran versinya. Dia tunjuk-tunjuk saya di depan kelas. Dia tidak peduli saya menangis menahan perasaan yang bercampur aduk dalam diri saya: saya benci guru tersebut, saya marah, saya sedih dia memperlakukan saya seperti itu. Saya rasa saya dendam.

Semenjak itu saya jadi merasa minder untuk berkembang, sekadar tampil, atau menonjolkan diri. Rasanya selalu ada yang salah kalau saya mencoba untuk menunjukkan eksistensi saya. Saya enggak percaya diri pada kemampuan diri saya sendiri. Perasaan minder itu terbawa-bawa hingga ke bangku SMP, SMA, kuliah, dan di lingkungan kerja. Yang tercipta justru kekonyolan-kekonyolan saban saya berusaha untuk menunjukkan eksistensi diri saya. (Perasaan ingin menunjukkan eksistensi diri ini lumrah saya rasa.)

Saat bersosialisasi dengan teman, dengan orang-orang terdekat selain keluarga, pun saya minder. Bahkan, saat di bangku SMA saya hanya punya satu orang teman dekat. Banyak teman yang saya ingat tapi hanya dia yang mengingat saya. Di lingkungan kerja, saya enggak percaya diri dengan kemampuan saya sendiri, enggak percaya dengan kemampuan saya dalam mengerjakan sesuatu.

Bahkan, saat kini saya sedang menjalin hubungan dengan seorang lawan jenis, pun saya merasa tidak percaya diri. Dia mengeluhkan masalah saya ini. Tiba-tiba saya merasa tidak ada orang yang dapat memahami saya. Dia, orang terdekat saya, pun tidak memahami saya. Saya menjadi sangat tertutup. Ditambah masalah ekonomi keluarga dan sebagainya, saya semakin tak percaya diri.

Saya sadar seharusnya saya enggak boleh begini. Tuhan sudah luar biasa menganugerahi saya yang sempurna begini. Saya sadar saya punya potensi yang bisa saya kembangkan. Sebenarnya dengan merasa minder, saya merasa berdosa. Sama aja saya enggak bersyukur atas nikmat Tuhan yang enggak pernah bisa dihitung ini. Memang, enggak pantas kalau ada hamba yang enggak bersyukur atas ciptaan Tuhannya.

Kadang, kalau lagi nonton video-video motivasi atau melihat orang yang keadaannya jauh di bawah saya, saya langsung tersadar bahwa saya enggak boleh minder. Tapi kadang cuma sekejap aja sadarnya. Udahnya, kambuh lagi penyakit minder saya.

Jika fisik yang terluka, saya enggak apa-apa. Tapi kalau dalam diri saya yang terluka, saya sungguh enggak bisa mengatasinya. Setiap ada peristiwa dalam kehidupan saya yang membuat “dalam diri” saya terluka, saya selalu berdoa supaya Tuhan “mengobati” saya dengan cara-Nya yang selalu misterius itu...

Saya ingin memaafkan guru “X” itu. Tapi mungkin sekali juga ada kesalahan yang saya lakukan. Tentunya yang paling sulit adalah memaafkan diri sendiri. Ya Gusti, yang paling berat adalah yang terakhir itu: memaafkan diri sendiri. ...

Jumat, 14 November 2014


Nulis Yuk

Saya selalu ingin menjadi penulis. Penulis novel atau penulis apa sajalah. Mustinya saya rajin menulis sebagai bentuk upaya saya agar cita-cita tersebut tercapai. Dulu pernah saya menulis di koran kampus. Menulis di buku diari pun lumayan rajin saya lakukan. Namun, semenjak mengajar, saya jadi malas menulis. 

Coba liat, saya nyalahin aktivitas ngajar saya. Padahal sayanya aja yang malas nulis.

Belakangan ini mulai menyala lagi keinginan untuk menulis itu. Tapi saya ingin ada sedikit yang berbeda dengan aktivitas kesukaan saya ini. Supaya enggak bosen. Ya sudahlah, akhirnya saya memutuskan untuk menulis di blog saja.

Nulis yuk...