Kamis, 25 Desember 2014

Diari Lama:
Bara itu Namanya 'Jatuh Cinta'

Saya membuka-buka lagi diari lama saya kemarin. Memang sudah lama saya enggak menulis di diari. Kemalasan saya sudah pada taraf akut rupanya. Sampai menulis diari pun malas.

Memang bukan keharusan bagi saya untuk menulis di diari. Namun, rasanya aneh saja melihat diri saya yang sekarang. Dulu saya bisa menulis di diari 2-3 kali dalam sehari. Saya tumpahkan segala pikir dan rasa, dari hal yang penting sampai perkara remeh temeh.

Saya geli, heran, takjub, dan malu sendiri membaca diari lama saya. Geli dan malu karena diri saya di masa lalu konyol betul. Sedikit-sedikit mewek, gampang betul terluka untuk urusan hati. Heran dan takjub karena kaget sendiri melihat diksi-diksi yang saya lahirkan dulu. Kok bisa saya bikin kata-kata "kayak begitu" untuk mendeskripsikan apa yang saya rasa, pikir, dan inginkan saat itu. Rasanya sekarang ini saya enggak bisa menulis seperti itu lagi.

Saya bandingkan tulisan-tulisan dulu dengan tulisan di diari saya beberapa hari terakhir. Hasil pengamatan saya, tulisan yang "baru" ini terasa hambar, enggak "bernyawa", atau istilahnya tak bernas. Tumpul pisau kata-kata saya.

Kenapa bisa begitu ya? Saya berasumsi mungkin karena dulu saya sedang tertarik pada seseorang makanya saya bisa dapet diksi-diksi itu. Mungkinkah karena saya lagi jatuh cinta saat itu makanya saya bisa bikin kata-kata puitis? Mungkinkah karena saya lagi jatuh cinta saat itu lantas saya produktif menulis? Bisa jadi juga karena saya udah lama enggak menulis di diari.

Kadang enggak habis pikir melihat ada orang yang semangat menulisnya bisa terjaga. Ada teman saya yang begitu. Dia getol betul menulis, selalu sempat menulis, padahal dia seorang guru yang bejibun tugasnya, plus dia juga menjadi pengurus organisasi kepenulisan. Dia juga bahkan jadi editor buletin bulanan. Pun meski udah sibuk begitu, dia masih sempat berkarya, menang lomba ini-itu, jadi juri lomba nulis, dan sebagainya.

Saya aja masih banyak alasan kalau diajak teman ikut lomba nulis ini-itu. Dasarnya saya pemalas. Susah deh. Kayak begini kok saya bercita-cita mau jadi penulis.

Meski begitu, saya sadar betul, saya memang bisa produktif kalau lagi jatuh cinta (preeeeeeet... :p). Tapi repot amat ya kalau menulis nunggu jatuh cinta. Masak menulis kok musiman. 

Teman saya yang lain pernah bilang, ketika dia sedang jatuh cinta, dia memanfaatkan momen itu untuk berkarya. Tapi kalau dia lagi enggak jatuh cinta, dia tetap berkarya. Ya iyalah. Lha wong dia wartawan. Hahaha...
Meski begitu, karya-karyanya memang luar biasa; tulisannya puitiiiiiiiis banget. Menurut saya, dia seniman kata. :)

Saya berharap bisa menulis dalam situasi apa pun, tak harus nunggu jatuh cinta supaya produktif menulis. Kalau pun sedang jatuh cinta, saya syukuri anugerah itu. Artinya saya bisa lebih produktif lagi menulis.:D

Mungkin tak perlu jatuh cinta pada sosok adam untuk bisa berkarya. Mungkin saya nanti akan jatuh cinta pada ikan di kolam, daun yang gugur, gunung, hujan, angin, atau secangkir kopi ...
Dan saat itu semestinya enggak ada alasan lagi untuk tidak berkarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar